Belajar dari Sang PUJANGGA
Ternyata aku lebih siap
menghadapi “kesenangan” daripada “kehilangan”, maka lahirlah kesedihan. Aku
lupa pada petuah lama bahwa pertemuan memungkinkan lahirnya perpisahan.
Demikian pula kehidupan yang memastikan kedatangan kematian. Tapi, jelas-jelas
aku tak bisa memahami mengapa dan bagaimana bisa kamu, ya, kamu, berada, tersangkut,
cekat dalam hati ini?
Jika benar begitu
adanya, maka kehilangan adalah wajah lain yang mungkin akan ditunjukkan oleh
kenyataan kepadaku. Semacam kabar bahwa perpisahan bisa secara diam-diam
menyelinap di balik keinginan melihatmu dari kejauhan. Anehnya, aku lebih
memilih menyenang-nyenangkan hati, padahal kenyataan yang ada sebenarnya amat
pahit.
Barangkali harapan ini
hanya semacam doa yang memeluk kehampaan sebagai kamu. Tapi, biarlah. Sesekali
waktu perlu mengajariku cara tercepat meninggalkan masa silam meski aku tak
yakin kamu akan “hilang” begitu saja di masa depanku.
Kadang, setiap
merindumu, aku menegarkan hati dengan merapal mantra “semoga”, dan berharap
mantra itu mustajab untuk mengembalikan “yang pergi” dan memulangkan “yang
lupa”. Walaupun setiap mataku membuka, kamu tetap pergi dan tetap lupa,
kembali.
Tidak ada, tidak ada
yang melebihi senyum itu, senyummu. Di jantung rinduku kamu adalah keabadian
yang mengenalkan dan mengekalkan kehilangan. Perjalanan yang memasuki dua tahun
ini, ternyata bukanlah waktu yang lama. Suatu hari nanti, kita akan kembali
bertemu, pertemuan yang sebenarnya. Di tempat itu, di tempat duduk besi itu.
Tepat menghadap megahnya “kantor bupati” yang terhias kemerlap lampu di malam
hari, seperti malam itu.
Ku nantikan senyum itu.
Gadis berkacamata putih.
Nah, yang satu ini Nawa pelajari dari salah satu Sastrawan Indonesia....hehehehehe
Sekian yah buat yang satu ini.
Arigatou buat sahabat dunia maya, khususnya pencinta blogger yang udaa mau baca :D
See you later, we will get better :D
Komentar
Posting Komentar