Aku sang Pemuja Rindu, dan Kamu sang Pembawa Rindu
Mengenangmu
adalah sebuah kebiasaan yang belum bisa aku abaikan dalam keseharianku.
Bermimpikan tentangmu, bahkan sudah menjadi bagian favorit ketika kupejamkan
mata, terlelap dari lelahnya aktivitasku. Walaupun kamu adalah masa lalu,
tetapi kamu masih menjadi salah satu yang terbaik dari mimpi-mimpi yang sedang
kuhimpun demi masa depan nanti. Mungkin aku bisa mengkonotasikanmu sebagai
waktu, yang hadir di setiap gerakku menjalani kehidupan, dan terus akan hadir hingga
jantung ini berhenti berdetak. Kamulah, sang Pembawa Rindu.
Akulah
sang Pemuja dalam diam. Menerka, menerka, dan menerka pada rasa sang Pembawa
Rindu yang masih tertutup oleh dingin hatinya. Mengamati tanpa bersuara. Membawakan
senyum tersembunyi yang selalu terselip dari sekian tawa dan canda saat
bertemu. Sungguh, aku belum sekalipun bertanya kepada hati, sejak kapan rasa
ini berubah warna menjadi rindu. Karena hatipun, tak akan menemukan jawabannya
secara pasti.
Aku
hanya mampu menerka. Bisa saja, sejak aku mengungkap fakta bahwa sang Pembawa
Rindu telah menyimpul hati bekunya untuk sang Pioner. Ataukah, jauh sebelum
mereka saling bertemu dan mengenal satu sama lainnya? Kapanpun itu, sang Pemuja
Rindu hanyalah seorang pemain figuran. Akulah, sang Pemain Figuran.
Menyesalkah?
Aku tak tahu apa yang lebih tepat untuk menggambarkan rasa yang masih tertanam
ini, -saat kucoba membuat jemari ini menari menyusun huruf demi huruf hingga
menjemalah menjadi cerita ini. Menyesalkah? Ketika aku tau bahwa peranku
semakin tergerus. Menyesalkah? Ketika kedua Pemain Utama –sang Pembawa Rindu
dan sang Pioner– akhirnya semakin dipersatukan sehingga menghilangkan sang
Pemain Figuran untuk membaur lagi dalam alur cerita yang masih berlangsung.
Tak
rela, ketika sang Pembawa Rindu sudah mengikatkan rindunya kepada sang Pioner.
Tak rela, ketika akhirnya sang Pemuja Rindu, sang Pemain Figuran, aku, tahu
bahwa waktu tidak tidak memihak untukku. Mungkin waktu pun sudah lelah,
menungguku untuk terus terdiam dan terdiam bertumpuk rindu yang tak
tersampaikan padamu –sang Pembawa Rindu. Aku menyesal, mungkin iya! Aku tak
rela, tidak juga, percuma saja bila ketidakrelaan itu diteruskan.
Kamu.
Aku benar-benar merindukanmu. Rindu akan kehadiranmu di depan mataku. Aku tahu
ini terlambat. Tetapi, apakah salah bila masih ada sebersit keinginan dariku
untuk memutar waktu walaupun itu jelas-jelas terdengar bodoh. Bodoh sekali! Aku
hanya ingin menatapmu kembali. Berjalan sejajar denganmu sekali lagi. Bertukar
cerita tentang keseharianmu dengan keseharianku. Dengan itu semua, ingin
rasanya sang Pemain Figuran, aku, menjadi sang Pioner. Berperan menjadi pemain
utama bersama sang Pembawa Rindu, kamu!
Sayangnya
itu tidak mungkin. Itu akan menjadi usaha yang sia-sia. Karena nasi sudah
menjadi bubur. Karena cerita sudah berjalan dan tidak akan pernah lagi diulang
dari awal. Tidak akan ada istilahnya peng-edit-an cerita, pergantian pemain,
dan pemutaran ulang cerita yang sama. Cerita itu hanya akan berputar sekali.
Itulah hal-hal yang semestinya disadari oleh sang Pemain Figuran sepertiku.
Sang Pemuja Rindu yang pada akhirnya hanya bisa menelan ludah sendiri.
Tak
akan ada yang namanya keajaiban di sini. Karena ini hanyalah cerita dan
idealita. Bukanlah serangkaian fakta dan realita.
Salam
rindu, my Little Angel.
Komentar
Posting Komentar