AKU YANG MENCOBA UNTUK MERELAKANMU

My One Memory: 4 Januari 2014, pukul 17.20, Banyuangga – Probolinggo.
Sore ini bersama gerimisnya hujan, aku duduk di kursi panjang besi. Kursi yang tiga setengah tahun lalu menjadi tempatku menunggu kedatanganmu. Posisinya pun masih sama –menghadap ke arah utara– pada ruang tunggu para penumpang. Namun tidak pada kondisi fisik yang sudah terlihat sedikit berkarat karena usianya. Warna hitam padanya yang dulu masih terlihat berkilau, kini sudah banyak terkelupas di berbagai titik pada sisi kaki maupun sandarannya. Di sinilah, kenangan itu menuntut eksistensinya untuk kembali diingat sekali lagi.
Di tengah ramainya aktivitas ratusan orang –mulai pedagang yang menjajakan dagangannya, kernet bis yang menyuarakan jurusan kendaraannya untuk menarik penumpang, hingga segelintir orang yang hanya singgah sebentar untuk bercakap dengan Sang Khaliq di mushalla mungil ujung utara terminal– hatiku bergelora menantikan sosokmu untuk hadir di hadapanku siang itu.
Namun tidak sore ini, hatiku terasa hambar. Tak ada lagi gelora seperti dulu. Bukan karena aku sudah tidak lagi mencintaimu atau tidak lagi mengharap kehadiranmu, tetapi hanya lebih kepada cintaku yang ternyata bertepuk sebelah tangan. Dan tentang fakta bahwa kehadiranmu juga bermaksud untuk memberikan kepadaku secarik kertas –undangan– yang menyebutkan hari bahagiamu bersama dengan pria lain.

Sungguh semakin hambar rasa hatiku bila harus mengakui fakta itu. Hampir habis rasanya semua gelora yang biasanya menguasai hatiku ketika hendak bertatap muka denganmu. Sial rasanya, karena aku masih saja mencintaimu dan juga mengharapkanmu hanya untukku. Mungkin aku sudah tenggelam dalam cinta buta terhadapmu.
Tetapi tentu saja, sebagai orang yang mencintaimu, aku harus bisa menyembunyikan keadaan ini di hadapanmu. Keadaan yang sepertinya juga jelas terpancar dari raut mukaku yang penuh rasa kecewa. Kalau perlu, aku pun siap bermuka dua. Memperlihatkan betapa senangnya raut mukaku dengan kabar yang sedang kau bawa walaupun secara bersamaan hatiku akan terlukai dengan kabar itu. Aku siap berluka-luka dalam kebahagiaanmu.
Tenang saja, ragaku masih utuh tanpa kurang satu apapun. Aku masih sanggup untuk melanjutkan hari-hariku walaupun tak lagi bersamamu, walaupun kau tak lagi di sampingku. Aku juga masih ingat bahwa kau lebih senang menyebutku sebagai obat penenangmu daripada obat penyenangmu. Obat yang menurutmu bisa membuatmu merasakan suasana yang tenang dan nyaman. Tetapi ingatlah sayang, obat apapun itu, semuanya memiliki waktunya sendiri sebelum akhirnya menjadi kadarluarsa. Dan saat ini, mungkin adalah hariku untuk itu. Hari di mana sang obat penenang telah menjadi kadarluarsa.
Namun aku yakin dan percaya bahwa Tuhan tetap memiliki rencana yang indah bagiku setelah ini. Setelah aku tahu, bahkan semua orang tahu, bahwa kau sudah menjadi milik pria lain. Bukan aku, bukan diriku. Dan aku juga yakin dan percaya, bahwa ini adalah takdir Tuhan yang terbaik untukmu. Yang itu artinya, “Takdirmu lebih baik dengan pria itu daripada dengan diriku”. Walaupun jelas adanya kalau aku masih sangat mencintaimu dan mengharapkanmu hanya untukku.
Aku tak akan menyangkal itu semua. Tetapi dapat aku pastikan bahwa suatu hari nanti akan tiba waktuku untuk mencintai wanita lain selain dirimu. Dan wanita itu juga akan mencintaiku sepenuh hatinya seperti aku mencintainya sepenuh hatiku. Inilah keyakinan yang akan aku tancapkan dalam di hatiku setelah bertemu denganmu sore ini. Tancapan keyakinan yang kelak akan merobek dan mencabik habis cinta butaku kepadamu.
Satu do’a dariku untukmu, semoga Tuhan selalu menghadirkan kebahagian dalam hari-harimu setelah kau jalani hidupmu yang baru bersama pria itu. Pria pilihan hatimu. 
Dariku, laki-laki biasa yang pernah merasakan kesempurnaan ketika bersama denganmu.

Komentar

Postingan Populer