Teruntuk Kita yang Terpisahkan Jarak: Tak Akan Aku Biarkan Cinta Ini Memudar, Bahkan Terputus
Hanya
kepada diam, aku mengadu rindu. Dalam perjuanganku menggapai cita-cita,
berkejaran dengan waktu dan bercumbu dengan buku-buku, namun kehadiranmu selalu
saja memaksa untuk membaur dalam pikiranku. Walau ketika bertemu, senyumanku
kepadamu memancarkan sejuta kebahagiaan. Tapi sungguh, itu hanyalah kedokku
untuk terlihat baik-baik saja di hadapanmu.
Aku
dan kamu memang tak seperti pasangan yang semestinya. Pasangan yang setiap
harinya bisa bertemu, pulang dan pergi bersama. Bahkan untuk berkomunikasi via
suara pun, kita mesti memadu janji agar tidak mengganggu kesibukan
masing-masing. Tapi percayalah sayang, pada jarak ratusan kilometer inilah aku
dan kamu akan disukseskan Tuhan di masa depan nanti. Hanya saja, kepada kita
yang terpisah akan jarak, mampukah kamu menanggung sesak?
Dalam mencintai seseorang,
terkadang kita sampai tidak menyisakan tempat bagi hal lainnya, seperti sekedar
bertanya, “Apakah dia adalah cinta yang sebenarnya, cinta yang sejati?”
Ya,
apakah kamu adalah cinta sejatiku? Yang tidak bertemu muka sekian lama, yang
tidak berpeluk ketika salah satu sedang mengeluh. Ada perih yang disisakan
sakit ketika aku mencoba untuk membuka kembali kepingan kenangan kebersamaan
kita. Tanpa disadari, ternyata kita sudah melalui berbagai cerita yang teramat
berharga apabila harus kita akhiri.
Apalagi,
saat aku tanpa sengaja melihat history
akan status di salah satu akun media sosialmu. Terlihat beberapa teman jenismu
yang menuliskan komentar-komentar penuh kemanjaan untuk menarik perhatianmu.
Bagaimana bisa aku hanya bersikap biasa saja akan hal itu? Di saat hatiku sudah
dibanjiri oleh lautan prasangka.
Tidakkan demikian yang namanya
cinta sejati? Menorehkan senyuman untuknya walaupun sebenarnya kita menumpuk
sedih, bahkan perih yang belum terobati teramat sangat.
Tak
sepatutnya aku merajuk ketika kita saling bertukar kabar –menanyakan keadaan
masing-masing. Ketidakhadiranmu seakan melatihku untuk semakin mengenal akan arti
kesabaran. Daripada chatting yang
bertajuk pertengkaran, aku akan lebih memilih untuk mengabsen jam demi jam
dalam keseharianmu. Menanyakan apa saja yang sebenarnya kamu lakukan dalam
mengisi hari-harimu di sana. Hanya dengan sebuah sticker bertuliskan “I miss
you”, rasanya sudah membuatku bahagia. Setidaknya, rinduku tidak bertepuk
sebelah tangan. Setidaknya, bukan hanya diriku yang terjebak dalam sesaknya
rindu. Semakin ingin rasanya untuk bertemu denganmu. Melihat senyum manismu
dengan nyata.
Di tengah ketidakberdayaan kita
untuk bersama setiap waktu layaknya pasangan pada umumnya, adakah waktu di mana
kamu melupakanku?
Dengan
teman-temanku, aku bisa memhabiskan hari-hariku tanpa kehadiranmu. Bermacam
kegiatan aku lakoni, semakin menyerutku untuk berpikir tentangmu yang juga
melakoni rutinitas tanpaku di sampingmu. Masih saja aku dihantui kekhawatiran
bahwa kamu akan melupakanku. Meniadakan aku dari aspek kehidupanmu dengan
semakin terbiasanya kamu tanpa kehadiran fisikku di dekatmu. Padahal tidak
denganku di sini. Aku masih saja menjadikanmu motivasiku untuk menjalani suka
duka hari-hariku.
Berulang
kali aku dihujani dengan perasaan seperti ini, berulang kali pula kucoba untuk
meredakannya. Aku percaya bahwa kamu tidak akan demikian. Malahan, aku juga
sempat berpikir, “Apakah kamu juga merasakan yang kurasakan?”
Tak hanya hari berganti hari,
tetapi hingga bulan berganti bulan, arahmu hatiku akan tetap sama. Ia akan selalu
tertuju kepadamu.
“Masih kuat LDR, bro?”
“Malem minggu kok sendiri aja, pasangannya
mana?”
Rasaya
aku sudah akrab dengan sindiran itu. Telingaku sudah kebal rasaya akan
pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Bahkan beberapa teman terlampau egois untuk
mengenalkanku dengan sosok lain supaya aku tidak hanya terpaku kepadamu yang
hanya hadir dalam bayang-bayang kepala saja. Bagaimana mungkin mereka melakukan
hal tersebut kepadaku, sayang? Padahal mereka juga mengenal baik dirimu. Apakah
mereka tidak peduli dengan perasaanmu di sana?
Tetapi
tenang saja, aku tak meladeninya sama sekali. Karena aku tahu bahwa kamu
satu-satunya sosok yang tidak akan tergantikan dalam hatiku. Kamulah
satu-satunya sosok bayangan yang hanya boleh terbayang di kepalaku. Hanya
kepalamu yang layak untuk bersandar di pundakku. Hanya senyummu yang mampu
membuyarkan kegundahanku. Dan hanya kamu, wanita yang selalu kuharapkan kepada
Tuhan untuk mendampingi hidupku kelak.
Kamu adalah tempat bagiku merasa
pulang. Oleh karena itu, menunggumu adalah sebuah pilihan pasti yang memang
harusnya kuambil meski hari-hariku harus terbenam akan kesepian tanpa
kehadiranmu.
Berlapang
dadalah sayang, karena jarak ini bukan apa-apa. Kuatlah ketika terkadang lelah
membisikkan kepadamu untuk menyerah dalam menunggu. Puaslah walau hanya bisa
memeluk empuknya guling yang bahkan mulai kering dan mengeras kapuknya di
setiap pekanmu. Hutang rindu yang semakin mengembang setiap harinya, pastilah
akan terbayarkan ketika Tuhan sudah menghendaki kita untuk bersama selamanya.
Percayalah, karena aku merasakan hal yang sama denganmu.
Aku
tak akan kalah dengan jarak ini. Takkan kubiarkan ia memudarkan, bahkan
memutuskan cinta ini kepadamu. Dan semoga, kau merasakan hal yang sama
terhadapku. Oleh karena itu, cukupkanlah aku menjadi satu-satunya pasanganmu,
seperti aku yang juga mencukupkanmu menjadi satu-satunya pasanganku.
Komentar
Posting Komentar