AKSARA RINDU YANG DILUKAI

(Inspired by D. A.)

Puisi ini untukmu,
yang pernah hampir setiap hari mengucapkan selamat pagi.
Kepada awan-awan mendung beberapa hari ini,
termasuk di pagi ini.
Ada yang bertanya karena tidak mengerti.
Di mana kehangatan wajah matahari?
Di sana, di waktu itu.
Rekam masa lalu yang tiada senyum di sini, di saat ini.


Puisi ini untukmu,
yang pernah hampir setiap hari mengucapkan selamat pagi.
Alam tersinari, maka hangat sebagian belahan.
Serupa bocah, yang tersenyum tiada beban.
Dingin. Sentuhan embun erat mendekap.
Hati tersingkap, hampir mengendap.
Berdiri. Terpaku di sudut lamunan.
Kelam. Hati bisu. Terbawa cinta yang karam.

Puisi ini untukmu,
yang pernah hampir setiap hari mengucapkan selamat pagi.
Di ujung sana ia tak termaki.
Sendiri dirundung sepi, dibekap angin. Dingin.
Melihat hamparan lautan.
Terbayang wajah kekasih.
Dia, yang dulu didekap ketika sedih.
Dia, yang dulu bersandar ketika lelah.
Tapi itu dulu.
Kini ia telah tersisih,
dengan hati sunyi yang masih berkecup mesra bersama kekasih.

Puisi ini untukmu,
yang pernah hampir setiap hari mengucapkan selamat pagi.
Beribu senyum ia kulumkan.
Laksana amarah yang ia redamkan.
Ya, di batu bibir pantai itu.
Ya, di saat itu.
Hilang kini tersapu ombak.
Hingga lubang luka datang semerbak.
Epilog pun hilang, karena jatuh terjebak.

Di ujung cakrawala.
Camar-camar mulai berangkat.
Dengan sayap yang telah terbentang, terangkat.
Dengarkanlah, kawan, bait-bait sajak tentang sebuah alur cerita
Dari lelaki itu yang tetap rindu meski terluka.
Cobalah untuk kau sadarkan!
Bukankah ia hanya menjaga, bahkan menambah pesakitan?

Tidak.
Lelaki itu bukan analogiku, kawan.
Ia hanya hidup serupa puing di tengah lautan.
Sesaat diingat,
untuk sejurus kemudian kembali dilupakan.
Lenyap terhuyung gelombang.

Paiton, 19-1-2017.
-Nawafil Fil-
#sehariSATU

Komentar

Postingan Populer