(SERUPA) SEORANG PECUNDANG

Ia pernah melangkahkan kaki sejauh lelah.
Walau akhirnya harus berhujan ria.
Hingga basah sekujur badan.
Genangan demi genangan pun pecah, Splash!
Terbelah oleh pijakan kaki.
Kadang kanan, kadang pula kiri.


Padahal semua hanya sebuah ke-percuma-an.
Karena tak se-ber-ar-ti yang ia harap.
Yang diinginkan ternyata kosong,
yang ditemui tetap saja tidak bergeming.
Karena sebenarnya ia tahu,
ia hanya api tak berdaya.
Walau menyulut membakar hati,
tapi hanya diam di dalam didih.

Ia pernah melangkahkan kaki sejauh lelah.
Walau akhirnya harus berhujan ria.
Hingga basah sekujur badan.
Dengan nafas yang menderu terburu-buru.
Karena tubuh tiba di batas lesu.

Kota hujan memang selalu menyisakan rindu.
Menumpuknya hingga menggebu.
Padahal jelas berwarna kelabu.
Ia telah sampai pada tujuan.
Namun perempuan di hadapannya tetaplah diam.
Dengan angkuh mengalihkan bola mata.
Meski jelas berhadap muka.

Ia diam.
Menelan kesal memilih datang.
Ia coba bicara.
Namun tetap terabaikan serupa kucing,
yang tak kenal malu meminta makan.

Ia akhirnya pulang.
Bersama hujan yang belum pergi.
Jalanan semakin penuh akan genangan.
Juga sesak dengan kenangan.

Ia yang kembali basah.
Padahal yang tadi belumlah kering.
Langkahnya gontai.
Sepenuhnya bersandar pasrah.

Mungkin keadaan memang tak memihaknya.
Karena ia hanya seorang lelaki perindu,
yang tak berani mengadu dengan resiko.
Hinga jelas perjuangan miliknya,
memang selaras dengan kebodohannya.
Meski ketulusan yang dipunyainya,
telah seirama dengan perasaannya.

Ia hanya lelaki perindu,
yang tak berani mengadu,
(serupa) seorang pecundang;
yang memang melangkahkan kaki sejauh lelah,
walau akhirnya harus berhujan ria,
hingga basah sekujur badan.

Paiton, 3-3-2017.
-Nawafil Fil-
#sehariSATU

Komentar

Postingan Populer