VIRAHA
Paiton, 17 Maret
2017
Viraha
(n) realization of love through separation.
-Nawafil Fil-
Dari
balik jendela. Seorang pria tampak berkali-kali membetulkan posisi kacamatanya
yang melorot, dengan telunjuk tangan kanannya. Matanya sembab meski belum
terlihat gerimis turun di kedua pipinya. Wajahnya lusuh. Mensyaratkan resah dan
gelisah. Sedang bibirnya tak henti mengatup lemah. Merapal doa yang sama.
Berkali-kali. Tanpa mempedulikan sudah berapa jumlah hitungannya.
***
Langit
hitam, juga pekat, masih merajai singgasana malam. Meski terdapat sebuah bulan
dan berjuta bintang yang turut bertahta di atas sana. Suasana kota tampak sepi.
Padahal jarum pendek jam belum beranjak dari angka 8. Sudah pertengahan Maret,
namun hujan masih akrab menyapa bumi. Seorang gadis berjalan dengan sedikit
terburu-buru. Mengingat ransel di punggunya sudah kuyup meski sudah menggunakan
payung yang terpegang di tangan kanannya.
Segerombolan
laki-laki –sebayanya- terlihat sedang bersuka cita dengan botol-botol di
tangan. Gin, Vodka, Bourbon; setidaknya tulisan itulah yang tertempel sebagai
label, yang tak sengaja tertangkap mata oleh gadis itu ketika melintas. Sontak
godaan demi godaan tidak dapat terhindarkan. Entah berupa siulan, panggilan
nama, hingga sentuhan jahil di badan. Gadis itu tidak bergeming. Ia tetap maju
dengan acuh. Melangkah lurus ke depan.
Ia
berasal dari keluarga kaya dan terpandang. Hingga tak heran apabila hampir
semua orang di kota ini mengenalinya, termasuk nama Ayah dan keluarganya.
Ayahnya adalah seorang pebisnis sukses barang-barang ekspor ke berbagai Negara
di dunia. Perusahaannya bahkan sudah tersebar di hampir seluruh Nusantara.
Namun ia harus rela dibatasi dalam hal pergaulan, termasuk sekolahnya. Tanpa
kompromi, ia dimasukkan ke sekolah khusus bisnis agar kelak dapat melanjutkan
usaha Ayahnya walaupun ia adalah seorang wanita.
Padahal
sejatinya ia memiliki cita-cita tersendiri. Cita-cita yang hanya masuk telinga
kiri dan keluar telinga kanan bagi Ayahnya. Cita-cita awalnya sederhana, ialah
menjadi seorang penemu, yang menggeluti dunia sains. Hingga kini beranjak
dewasa, ia semakin mantap untuk mengembangkan kemampuannya dan kelak
berkeinginan meraih Nobel. Kalaupun itu tidak dicapai, setidaknya hasil
temuannya bermanfaat bagi masyarakat. Hingga tak heran bila ia memiliki banyak
rahasia yang tidak diungkapkan kepada Ayahnya, termasuk kepergiannya malam ini.
Gundukan
ransel yang berisi alat-alat eksperimennya tidaklah ringan. Bahkan sampai
memaksa dirinya untuk berjalan sedikit membungkuk. Alat-alat tersebut biasanya
disembunyikan di bawah tempat tidurnya ketika di rumah.
Teori
relativitas.
Mekanika
quantum.
Fisika
atom
Fisika
Material
Begitulah
yang tertulis di buku catatan kecil pada tangan kirinya. Setidaknya itulah yang
membuat kedua matanya sibuk. Mengalihkan perhatian dari laki-laki yang
menggodanya, apalagi ketika sedang melintas di hadapan mereka. Bahkan ketika
mereka saling bertengkar satu sama lain, beberapa langkah setelah gadis itu
melintas.
Hingga
kemudian tanpa sengaja, salah satu laki-laki yang bertengkar terpental ke arah
gadis itu dan menubruknya, sampai keduanya sama-sama terjatuh. Gadis itu
tertindih tubuh laki-laki tersebut. Napasnya terputus-putus. Mulutnya
terbata-bata lirih. Hingga akhirnya tak sadarkan diri. Karena na’as, sebuah belati
yang terpegang oleh laki-laki itu tertusuk tepat pada bagian perutnya.
Te-o-ri
re-la-ti-vi-tas.
Me-mek-ani-ka
qu-a-n-tu-m.
***
Pria
itu terpaku. Matanya semakin sembab. Hingga akhirnya gerimis turun dari balik
matanya ketika melihat sang dokter menurunkan masker yang menutupi mulut seraya
menggelengkan kepala. Seketika gerimis pun berubah menjadi hujan tangis yang
sejadi-jadinya, bersamaan dengan sang dokter menarik selimut hingga menutup
bagian wajah, anaknya yang terbaring di balik balik kaca tempatnya berdiri;
Ruang UGD RS. Nusa Bangsa.
Hingga
akhirnya ia benar-benar tersadar bahwa gadis itu, yang kini terbujur kaku,
putri semata wayangnya, memang sangat mencintai dunia sains yang secara rahasia
digelutinya, termasuk di malam ini. Kini ia hanya bisa memeluk erat ransel
putrinya dan memegang erat buku catatan kecil basah yang hampir semua
tulisannya luntur. Ia sudah terlambat untuk mengakuinya. Ia sudah terlambat
untuk menyadarinya. Karena putrinya, bidadari kesayangannya, kini telah tiada.
Gadis kecilnya telah pergi. Gadis kecil telah tak ada lagi. Gadis kecilnya
telah dipanggil oleh Sang Ilahi.
Komentar
Posting Komentar