CERPEN JELEK YANG TERLUPAKAN
HANYA UNTUKKU
Oleh: Moh. Nawafil
Awal kehidupan dewasa adalah persimpangan
jalan. Banyak pilihan yang akan ditunjukkan sebelum benar-benar melaluinya.
Pilihan yang terkadang memang bernilai mutlak, seperti halnya keyakinan dan agama. Nikmat-Nya ada, dalam
setiap hembusan nafas paru-paru. Nikmat-Nya ada, dalam setiap detik kedap-kedip
mata. Nikmat-Nya ada, dalam setiap pompa jantung yang mengalirkan ribuan
hemoglobin dalam tubuh. Nikmat-Nya selalu ada, dikala kau tak henti menyebutkan
asma-Nya. Bahkan nikmat-Nya masih tetap ada, dikala kau sama sekali lupa
terhadap-Nya.
“Oh
Shit! Gue baru bisa tidur
habis shubuh tadi, Fen! Tutup lagi, ah!” teriakku pada pemuda kurus yang
mewarisi spesies rambutku, criwil. Dia adalah adik kandung laki-lakiku. Fendy namanya.
Dia baru saja membuka jendela kamar yang masih memenjarakan kamar ini dari
hangatnya cahaya matahari pagi. Aku angkat tangan tanganku, lalu memandang jam
warna hitamku yang masih melingkar rapi. Tulisan “LYON” tertera tepat di tengah
pusat lingkarannya. Pukul setengah delapan saat ini dan aku masih terlentang di
atas kasur dengan baju merah dan celana jeans biru yang terpasang selama
perjalanan semalam.
“Ngapain sepagi ini udaa masuk kamar gue?”
tanyaku dengan suara yang kembali berat.
“Temenin Umi belanja sana!” jawabnya ringan
sambil menolehkan wajahnya padaku. “Katanya pengen abang yang nemenin,
kangen….hehehe” imbuhnya ngenyir.
“Ah, bilang aja Lu males” sindirku.
“Udah, sana abang mandi! Ntar capeknya juga
ilang” jawabnya dengan sedikit memerintah, kemudian keluar begitu saja.
Perlahan kubangkitkan tubuh yang masih lelah
ini. Kuedarkan pandangan, mematroli seisi kamar. Ruangan ini tak banyak berubah
meski sudah dua tahun tak tertempati olehku. Isinya pun masih sama. Sebuah lemari bertuliskan “Olympic”
masih berdiri tegak di ujung barat-utara kamar. Meja belajar dan kursinya yang
juga berasal dari pabrikan yang sama berjejer di samping kanannya. Sementara
kasur, masih tetap berada di sisi selatan kamar berukuran 4 x 4 ini.
Mungkin Fendy benar. Mandi adalah salah satu
solusi menghilangkan lelah ini. Dengan gontai, aku melangkah keluar kamar.
Sepotong handuk terlinkar di kepalaku. Menemaniku menuju kamar mandi yang
terapit oleh kamarku dan Fendy. Segar sudah badan ini. Air memang sungguh
menyegarkan. Tak heran kalau senyawa ini merupakan salah satu sumber kehidupan
alam, manusia, dan makhluk lainnya yang diciptakan Tuhan.
Kubuka koper yang masih tertaruh rapi di
samping kasur. Kupilah-pilih baju yang akan dikenakan. Hingga pilihanku jatuh
pada kaos biru bertuliskan “I’M MUSLIM DON’T PANIC”. Salah satu kaos favorit
yang kubeli dari pedagang asal Turkey di Lyon, Perancis beberapa bulan sebelum
kepulanganku ke tanah air.
“Fan, Affan! Ayo, nak” suara lembut teriakan
Umi yang sudah lama tak kudengar dua tahun belakangan ini.
“Iyaa, Umi sayang sebentar” jawaabku sambil
keluar kamar dan menuruni satu per satu anak tangga.
Terlihat Umi sudah menungguku di depan pintu.
Seutas senyum muncul dari raut wajah putihnya. Tepat beriringan dengan lesung
pipit yang menjorok ke dalam, muncul di kedua sisi pipinya. Badannya tertutup
rapi dengan jubah dan kepalanya juga terbungkus rapi dengan jilbab merah marun
yang serasi dengan jubahnya. Anggun sekali. Lagi-lagi merupakan sesuatu yang
baru aku lihat dua tahun belakangan ini. Oh Ibu, engkau memang malaikat dunia.
Aku injak pedal gas dan mulai membelah
jalanan yang padat akan kendaraan. Tak banyak yang berubah di kota ini. Hampir
semuanya sama. Mulai dari jembatan gantung penyebrangan yang masih khas dengan
cat biru yang mulai memudar. Pos pantau polisi sektor 51 juga masih kokoh
berdiri di sisi kanan bawahnya.
“Gak ada yang berubah yaa, Umi?” tanyaku
sambil menoleh sekejab pada Umi yang duduk di samping kemudi.
“Iyaa, cuman anak Umi yang berubah” jawabnya
ringan.
“Loh, Affan kenapa Umi?” aku kembali bertanya
sambil mengerutkan dahi.
“Anak Umi makin dewasa dan cakep” sahutnya
sambil tersenyum.
“Haha…Umi juga masih terlihat cantik” balasku
hingga tawa renyah terpecah di antara kami.
Beberapa lampu merah dan persimpangan jalan
pun terlewati. Semuanya tetap sama seperti dua tahun lalu, persis sebelum aku
meninggalkan Negeri dan khususnya kota kelahiranku ini. Tibalah kami di sebuah
Mall yang bangunan juga nyaris tak berubah. Hanya beberapa hias lampu yang bertambah kuantitasnya dan lahan parkir yang
semakin lapang.
“Fan nunggu di mobil aja yaa Umi” pintaku.
“Loh, nggak mau ikut masuk? Mau titip
sesuatu?” tanya Umi menawarkan.
“Nggak lah Umi. Paling isinya juga sama aja”
ujarku. “Titip es krim aja deh” imbuhku.
“Iyaa udah. Jangan protes yaa kalau Umi
kelama’an” sosok tubuhnya makin menjauh dan kemudian hilang di depan pintu
masuk yang ramai akan pengunjung.
Kubuka interior mobil. Memilah dan melilih CD
ataupun DVD lagu yang bisa menemani masa menunggu ini. Pilihanku jatuh pada CD
yang wadahnya bertuliskan “Campur Mp3”. Aku ingat CD ini. CD yang dulunya aku
burning sendiri di komputer rumah. Kubuka wadahnya dan selembar kertas kotak
kaku jatuh dari dalam. Tepat bertumpuk dengan bundaran kaset CD bergambar
lingkaran warna pulkadot. Kuputar CD-nya dan lagu Simple Plan – I Can Wait
Forever menjadi entry pertama yang terputar.
Aku pungut kertas kotak kaku tadi dan
kubalik. Aku terkejut. Mataku sedikit membelalak seakan tak percaya dengan apa
yang kulihat pada kertas kotak kaku yang ternyata sebuah foto. “Foto ini kan?”
pikirku. Aku pandangi foto ini beberapa saat. Foto Made, Ni Made Putri Paramita
lengkapnya. “Made, you’re still in
my mind for a couple years ... may God confront us again, someday?...” ucapku
dengan penuh harap sambil memegang erat foto ini di tangan kanan lalu
menempalkannya di dada, sejenak. Kutarik kembali foto 4 x 6 ini dan
memandanginya.
Dan,
Tuhan memang pengabul do’a dan harapan yang tak tertandingi. Sekonyong-konyong
aku berada di depan rumah: dua tahun lalu.
***
Pukul dua saat ini dan matahari tetap
bersinar meski intensitas cahayanya akan semakin berkurang bahkan padam
beberapa jam lagi. Namun, cahaya itu masih mampu menembus kaca-kaca rumah yang
bening dan tetap mengkilatkan kulit motor yang terselimuti debu. Maka silaulah
jika mata memandanginya. Tampak di teras rumah, Umi sedang menyegarkan tanaman
kesayangannya. Sebuah mawar merah dan melati putih dengan aliran air yang
mengalir dari mulut alat penyiram yang berlubang kecil-kecil, persis seperti
pori-pori di kulit ini.
“Mau kemana, Fan?” tiba-tiba Umi tertoleh
kepadaku yang sedang sibuk mengelapi motor di depan garasi.
“Ke jalan Gatot Subroto Umi, nganter temen”
jawabku dengan sekali senyum ke arahnya dan kembali sibuk dengan kain serbet
yang mulai tertempel debu-debu halus pindahan dari motor.
“Ooh, hati-hati sayang” katanya sebelum
kembali masuk ke dalam rumah.
Mengkilatlah kini motor pabrikan Negeri
Nippon ini. Cahaya matahari tepat jatuh ke arahnya meski sedikit condong ke barat,
semakin menyilaukan mataku. Kuraih dan kukenakan helm yang sedari tadi
tergantung di kaca spion sebelah kanan. Perlahan tanganku mulai menarik gas
motor dan mulai menelusuri jalanan di sore itu.
Sedikit tidak jelas memang ketika
menyampaikan pada Umi hendak kemana aku ini. Namun, seperti yang kukatakan pada
Umi bahwa aku akan pergi ke jalan Gatot Subroto. Sebuah jalan yang berada tak
jauh dari pusat pasar kota, kira-kira 3 km ke arah selatan. Disana berdiri dua
bangunan megah yang saling berseberangan dan berhadapan satu sama lainnya.
Satu bangunan bernama Al Muttaqin. Sebuah
masjid yang memiliki gaya arsitektur arab yang dikolaborasikan dengan budaya
kejawen. Lafadz-lafadz arab dengan berbagai gaya kaligrafi memenuhi
langit-langit dalamnya dan mengelilingi bagian atap luar yang berbentuk seperti
keraton Sultan Jogja. Namun tepat di tengahnya, terdapat kubah kecil yang
bersinar di malam hari dan hanya berwarna keemasan bila di siang hari.
Bangunan yang satu lagi, yang tepat berada di
seberang Al Muttaqin dan berhadapan tepat dengannya bernama Santo Joseph.
Sebuah gereja kamu katholik yang memiliki gaya arsitektur seperti yang ada di
Negeri Pizza Italia sana. Bangunan tinggi menjulang yang khas berwarna putih
agak keabu-abuan dengan sebuah salib yang terpasang kokoh di atasnya.
Ke sanalah aku akan pergi untuk mengantar
seorang teman. “Teman”, itulah kata yang aku gunakan ketika berpamitan pada
Umi. Namun sebenarnya, dialah Made. Teman sekolahku yang sekaligus adalah
pujaan hatiku, saat ini. Dia memang beragama katholik dan itu bukan masalah
bagi hatiku untuk tertarik padaanya. Aku tak pernah mengemis pada Tuhan untuk
bisa tertarik, bahkan sampai secara khusus seperti saat ini. Tapi, mungkin
inilah yang disebut magis dan naifnya sebuah cinta. Cinta yang buta. Entah apa
yang ada dipikiranku. Aku hanya berpikir, “Mungkin Tuhan menganugerahkan padaku
tetang indahnya cinta dalam suatu keyakinan yang berbeda”. Kisah ini memang
sudah berjalan cukup lama, 365 hari tepatnya yang tadi pada hari ini. Seminggu
sebelum hari kelulusan masa SMA kami.
Pikiran-pikiran resah memang selalui
menghantui kisah kami. Bukan resah akan ketidakakuran atau berbeda berpendapat,
namun resah akan perbedaan keyakinan ini. Perbedaan yang tak jarang membuat
sejuknya air mata yang membasahi dan menjaga mata agar tetap lembab, rela
mengalir keluar hanya untuk membuat basahnya pipi dan hati yang nelangsa.
Sore ini sudah aku pikirkan jauh-jauh hari,
yaitu himpunan ungkapan perasaan yang berat untuk ditumpahkan. Tapi, mau tak
mau memang harus aku ungkapkan. Pukul 16.15 saat ini dan aku terduduk di
trotoar tepat di depan Al Muttaqin, setelah ungkapan hati yang terbungkus
dengan doa sudah aku tumpahkan pada Tuhan di dalamnya. Dan sekarang aku
menunggu. Menunggu untuk menumpahkannya pada Made.
Seperempat jam aku terduduk, hingga akhirnya
sesosok gadis yang tak lain adalah Made menampakkan dirinya di seberang. Keluar
memalui sebuah pintu berwarna hitam. Dan kini dia sedang menuju ke arahku.
Setuah senyum muncul ketika dia tepat berada di depanku. Senyum yang
benar-benar menggembirakan hati, namun sekaligus meresahkannya. Resah untuk tak
bisa lagi melihatnya, melihat senyum itu. Dan duduklah dia di sampingku.
Tanpa perlu aba-aba, kata-kata langsung
meluncur keluar dari mulutku. Semuanya keluar dengan lancar dan belum ada satu
kata protes atau apalah yang keluar dari Made. Hingga akhirnya, aku sampai pada
inti pembicaraan. Entah dari mana aku mengarangnya. Semua keluar begitu saja.
Dengan nada berat kata-kata itupun terucap.
Ternyata aku lebih siap menghadapi
“kesenangan” daripada “kehilangan”, maka lahirlah kesedihan. Aku lupa pada
petuah lama bahwa pertemuan memungkinkan lahirnya perpisahan. Demikian pula
kehidupan yang memastikan kedatangan kematian. Tapi, jelas-jelas aku tak bisa
memahami mengapa dan bagaimana bisa kamu, ya, kamu, berada, tersangkut, cekat
dalam hati ini?
Jika benar begitu adanya, maka kehilangan
adalah wajah lain yang mungkin akan ditunjukkan oleh kenyataan kepadaku.
Semacam kabar bahwa perpisahan bisa secara diam-diam menyelinap di balik
keinginan melihatmu dari kejauhan. Anehnya, aku lebih memilih
menyenang-nyenangkan hati, padahal kenyataan yang ada sebenarnya amat pahit.
Sungguh aku berat untuk melepasmu. Aku adalah
bangunan di belakang kita ini dan kamu adalah bangunan di seberang sana. Meski
tujuan kita sama yaitu Tuhan Yang Satu, Tuhan Yang Esa, namun kitalah sungguh
berbeda Made. Kita mempunyai jalan setapak yang harus kita lalui masing-masing.
Jalan yang tak akan mungkin kita gabungkan menjadi satu.
Maafkan aku Made. Tapi kita sampai disini
saja. Kita akhiri ini. Aku sayang kamu dan aku tahu, kamu pun demikian padaku.
Namun, kita tak bisa bertahan begini terus dengan hati resah yang sering
hinggap dan mengorek-orek akan keyakinan ini.
Begitulah kiranya kata-kata yang meluncur dari mulutku. Tidaklah sepatah
kata ataupun rangkaian kalimat keluar dari Made untuk menyanggah atau
memprotesnya. Diam dan hanya diam yang dia lakukan. Hingga akhirnya dia teroleh
ke arahku dan menghamburkan badannya ke arahku. Dia memelukku. Erat, hingga
sesenggukan mulai terdengar di telinga sebelah kiriku.
Sejak sore itulah kami tak lagi bertemu. Bahkan di pesta perpisahan SMA
yang berlangsung seminggu kemudian. Dan tepat tiga hari kemudian, aku berangkat
ke Perancis untuk meneruskan kuliah disana. Seolah juga mencoba untuk bisa
melepaskan Made. Seseorang yang juga mempunyai porsi besar dalam setiap tawa,
senyum, resah, bahkan tangis yang terjadi pada diriku selama bersamanya.
***
“Fan? Buka kuncinya sayang” tampak Umi sudah
memanggil dari luar kaca mobil yang aku tutup penuh. Buyarlah semua lamunanku
tadi. Lamunan yang kembali mempertemukanku dengan Made. Dan CD yang kuputar,
bertepatan memutar lagu dari A Rocket To
The Moon – Baby Blue Eyes yang semakin mengingatkanku pada bola mata Made yang
memiliki warna biru. Warna bola mata yang diwarisi dari kakeknya yang asli
orang Belanda.
“Lagi ngelamunin apa?” sindir Umi.
“Hehehehe..gak kok Umi” jawabku sambil
nyengir.
Sebuah motor matic putih pabrikan Jepang
terparkir di depan garasi. Motor yang sudah jelas bukan milik salah satu dari
keluargaku. “Mungkin ada tamu” pikirku sebelum akhirnya Umi angkat bicara.
“Waah.. Aini datang lagi. Mudah-mudahan
pesanan Umi terbawa” ujarnya sambil menoleh ke arahku yang masih sibuk dengan
kemudi.
“Aini? Siapa Umi?” tanyaku.
“Kamu lupa?” sahut Umi sambil tersenyum dan
keluar dari mobil.
Sontak beribu pertanyaan menyerbu pikiranku.
Bertanya-tanya siapakah gerangan yang telah aku lupakan. Padahal, aku tak
mempunyai teman bahkan saudara yang bernama Aini. Tanpa banyak pikir panjang
lagi, aku segera masuk. Dan sesosok gadis berkerudung putih tampak duduk
membelakangi pintu.
“Assalamu’alaikum” salamku.
“Wa’alaikum salam” jawabnya dan kemudian
menoleh ke arahku.
Aku terkejut. Tubuhku tiba-tiba mematung tak
percaya. Mulutku ingin mengucapkan namanya, namun serasa sebuah gembok besar
telah menguncinya. Aku hanya bisa menarik dan menghembuskan nafas berkali-kali,
seakan masih tak percaya dengan yang aku lihat. Tak percaya akan memandangan
yang disuguhkan Tuhan padaku siang ini, tepat di depan kedua mataku.
Dia adalah Made. Gadis bermata biru yang dulu
pernah mengisi hati ini. Bahkan sampai saat ini, jikalau bisa. Tak ada dari
kami yang berkata-kata selain salam tadi. Kami saling bisu, beberapa saat.
Hingga Umi datang dengan sebuah talam yang di atasnya tertata dua buah jus
jeruk yang juga terisi dengan potongan tak beraturan balok es batu. Senyawa air
yang memang sengaja dipadatkan komposisinya.
“Temenin Aini dulu, Fan” pinta Umi. “Umi
masih mau beresin belanjaan di belakang” imbuhnya.
“Iyaa Umi” jawabku dan tersenyum padanya.
Rasa canggung mewarnai awal percakapan kami
setelah selama dua tahun belakangan ini tak saling kontak. Namun, lambat laun
kami kembali akrab dan saling berbagi kabar. Made yang kini berganti nama
menjadi Aini, Nur Aini lengkapnya, menceritakan tentangnya dan keluarganya yang
bisa berubah sampai sejauh ini. Perubahan yang luar biasa dalam sebuah proses
kehidupan. Perubahan yang mungkin akan sulit untuk dilakukan olehku dan
keluargaku bila berada di posisi mereka. Tuhan. Ya, semua ini adalah
kehendak-Nya. Hanya Tuhan-lah yang bisa membolak-balik hati semua makhluk di
dunia ini. Seperti Dia membalikkan hati dan keyakinan gadis yang duduk di
depanku ini. Seorang Ni Made Putri Paramita menjadi Nur Aini.
Tuhan memang sudah membalikkan keyakinan Made
menjadi seorang Aini. Membalikkan hatinya untuk memeluk Islam sebagai agamanya.
Tuhan selalu punya rencana dan rencana-Nya selalu yang terbaik. Yang aku tak
tahu sekarang, “Apakah Tuhan juga membalikkan hatinya terhadapku? Ataukah,
hatinya terhadapku masih tetap seperti dulu? Serbuan pertanyaan kembali
menggelayun di pikiranku.
Pikirku sekarang, “Aku tetap menyayangi
seperti dulu, bahkan lebih”. Harapku sekarang, “Semoga Aini memang tercipta
hanya untukku”.
Komentar
Posting Komentar