Kopi Hitammu Adalah Lambang Kerinduanku

“Mama hanya belajar pada kopi dan malam, Pa. Tentang hidup, hitam pun dapat memberi kenikmatan”.
Begitulah alasan yang keluar ketika aku bertanya tentang kebiasaanmu meminum kopi setiap malam. Padahal alasan itu lebih cocok diberikan kepada orang yang menyukai kopi, bukan orang sepertiku yang tidak menyukainya. Meski itu bukan berarti aku tidak pernah meminum kopi. Aku juga pernah meminum kopi, tetapi bukan kopi hitam seperti buatanmu yang hanya dibubuhi setengah sendok gula. Latte, cappuccino, mocha, lebih kupilih apabila ingin meminum kopi –lebih manis rasanya– .
Namun malam ini, rasanya ingin sekali aku mencoba untuk menikmati kopi hitam seperti racikanmu. Satu sendok kopi, setengah sendok gula, dengan ukuran cangkir kecil yang selalu kau gunakan setiap kali kau menikmatnya.
Rasa pahit mulai menyerang pangkal lidahku. Tampaknya bagian itu lebih peka daripada yang lainnya. Rasa manis dari gula sepertinya hanya sedikit menghampiri lidahku di setiap tegukannya. Selebihnya, hanyalah pahit sebagaimana rasa kopi yang sebenarnya. Tak terasa sudah setengah cangkir aku menyeruput kopi hitam ini sesuai dengan resep sederhanamu.
“Ndak suka kok maksa, Pa.”, gerutumu setiap kali aku kerutkan dahi saat menyeruputnya. “Lagian masih banyak kopi instan cappuccino di dapur.”

Ya, kopi siap saji itulah yang biasanya aku minum ketika ingin rasanya menemanimu menikmati kopi hitam kesukaanmu. Rasanya lebih manis dan pasti ketimbang kopi hitammu yang begitu pintar menyembunyikan rasa manis gulanya.
“Masih suka dengerin Endless Love-nya Lionel Richie?”, tanyamu padaku.
Aku tersenyum sinis, “Ternyata Mama masih ingat lagu favorit Papa.”
“Kalau Begitu Indah-nya Padi? Selamanya Cinta dari D’Cinnamons?”
Aku terkekeh. Seperti biasanya, masih saja membandingkannya dengan lagu-lagu favoritmu. Ku seruput lagi kopi hitamnya dengan dahiku yang juga ikut mengerut sekali lagi. Terlihat kau berusaha menyembunyikan keinginanmu untuk mencicipinya. Hanya ludah sendiri yang bisa kau telan.
“Mama kalau mau minum aja.”
Kau hanya menggeleng. “Habisin aja. Mama tau Papa lagi kangen.”
Kini giliranku yang menelan ludah dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Maaf ya, Ma.”
“Buat?”
“Papa tidak mendampingi Mama ketika di rumah sakit.”
Kau menghelas napas, “Sudahlah, Papa kan lagi tugas penting ke Belanda. Mama mengerti.”
Suasana menjadi hening sejenak, aku mulai menundukkan kepalaku. Tak kuat lagi rasanya membendung air mata yang sedari tadi mendesak untuk keluar. Sekuat tenaga aku tahan desakannya. Tak ingin rasanya membuyarkan suasana seperti ini. Percuma saja rasanya bila hanya diisi dengan sebuah tangisan.
“Oh iya, Ma. Papa punya kabar gembira sekaligus menggelikan hari ini.”, aku kembali berupaya mendongakkan kepalaku. Menghilangkan jauh-jauh keinginan untuk menangis dihadapannya meskipun mataku masih berkaca-kaca.
“Oh ya? Kabar apa, Pa?”
“Anak kita sudah menjadi wanita, Ma. Tadi dia bilang kalau sudah kedatangan tamu bulanan pertamanya.”
Kini giliranmu yang terkekeh. Tampaknya suasana sudah mulai mencair seperti semula.
“Terus?”, kau kembali bertanya.
“Dia berulang kali mengeluhkan perutnya sakit. Makan pun dia ogah-ogahan. Tidak nafsu makan katanya, Ma.”
Kau kembali terkekeh. “Itu sih biasa, Pa. Namanya juga menstruasi yang pertama. Wajar kok.”, kau coba menjelaskan. “Papa ndak usah khawatir. Nanti juga bakalan hilang sendiri. Mengeluh saat datang bulan yang pertama itu sesuatu yang lumrah bagi wanita, Pa.”, imbuhmu.
“Andaikan Mama bisa menjelaskannya sendiri sama Putri, pasti dia akan jauh lebih mengerti.”, keluhku.
“Ah, Papa. Gitu aja kok udah mau nyerah. Dicoba dong, Pa. Mama yakin Papa pasti bisa!”, timpalmu dengan nada yang sedikit meninggi.
“Baru kali ini Papa ndak bisa menjelaskan secara rinci dan langsung sama Putri tentang apa yang dia tanyakan, Ma. Biasanya sih Papa langsung menjelaskannya dengan detail sehingga Putri bisa langsung mengerti dan tidak terjebak dalam pertanyaan yang sama berkali-kali.”
Ku angkat lagi tanganku untuk meraih kopi hitam dan mengarahkannya ke bibirku. Rasanya masih sama, pahit. Tak ada rasa manis yang terasa dari setengah sendok gula yang sudah tercampurkan, bahkan sudah teraduk dengan begitu merata. Sepertinya kopi hitam ini sudah tinggal dua teguk lagi. Ampas-ampasnya sudah mulai mampu menjangkau lidah. Dahiku juga semakin mengkerut dibuatnya.
“Mama yakin ndak mau coba? Resepnya sama lho seperti buatan Mama.”, aku mencoba menawarkan kopi hitam kesukaannya sekali lagi.
““Habisin aja. Mama tau Papa lagi kangen.”, lagi-lagi kau mengulang dengan jawaban yang sama seperti sebelumnya. Papa ada HP, kan?”, kau balik bertanya padaku.
“Ada dong, Ma.”
“Nah itu. Pake itu, Pa. Jaman sekarang kan udah canggih. Internet juga sudah sangat mudah untuk diakses. Papa cari aja jawabannya di sana. Pasti banyak berbagai artikel, apa aja deh, yang pasti akan membantu Papa menjawab masalah menstruasi Putri. Masak iya, lulusan Belanda tidak menyadari itu?”, kini kau terlihat sambil tertawa kecil.
“Oh iya. Papa ndak kepikiran.”
“Jangan cuma, “Oh Iya” saja. Tentu HP-nya jangan lupa dibelikan kuota internet.”
“Ah Mama, kalau itu Papa juga tau.”, timpalku nyengir.
Sirna sudah mata yang berkaca-kaca. Ini yang aku rindukan. Percakapan seperti ini, perkacapan kita berdua. Sudah sangat lama rasanya aku tidak menikmati suasana perkacapan ringan denganmu. Suasana kembali hening. Aku tenggelam dalam pemikiranku sendiri. Udara dingin malam dengan setia memelukku di kursi ruang tamu ini, dengan kau berada di hadapanku.
“Andai saja waktu bisa diulang ya, Ma.”, celetukku setelah meneguh kopi hitam buatanku sekali lagi.
“Hush! Papa ngomong apa sih?!! Ndak boleh berandai-andai seperti itu, Pa. Menyalahi kehendak Tuhan itu namanya. Lagipula ada Putri juga yang menemani Papa. Papa ndak sendiri, Pa. Papa masih bisa bersama Putri, setiap hari. Papa masih bisa hadir di samping Putri setiap kali dia membutuhkan sesuatu. Papa masih bisa menghiburnya ketika sedih. Menyeka air matanya ketika menangis. Tertawa bersamanya ketika sedang bergurau. Sedangkan Mama, Mama ndak bisa, Pa. Ndak bisa!”
Terlihat air matamu mulai jatuh. Ada perasaan marah bercampur sedih di mata itu. Ingin rasanya aku menyeka air mata itu untukmu. Tapi tanganku tidak akan mampu menggapaimu.
“Loh, kok sekarang jadi Mama yang nangis. Mama ndak boleh berkata seperti itu. Mama juga menyalahi kehendak Tuhan kalau begitu. Sudah ya, Ma. Sudah.”
Ku coba untuk meredakan tangisanmu. Tanganmu mulai bergerak untuk menyeka air mata yang mengalir dan membasahi kedua pipinya. Kita pun saling berpandangan sejenak, sebelum akhirnya saling melempar senyum.
“Papa kangen, Ma.”
“Iya, Mama tau kok. Habisin gih kopi hitamnya. Satu tegukan lagi tuh.”
Ku angkat lagi cangkir kecil di meja untuk menyeruput kopi hitam ini terakhir kalinya hingga hanya tersisa ampasnya yang sudah mengendap sedari tadi. Tegukan terakhir sudah ku lakukan. Masih pahit. Tapi seperti ada kenikmatan tersendiri yang ku rasakan. Kenikmatan yang hadir karena perasaan yang sudah lega. Lega dengan kerinduan yang sedikit terobati. Kau hanya tersenyum.
“Papa ngelamunin Mama lagi?”
Bersamaan dengan suara pertanyaan itu, buyar sudah sosokmu di hadapanku. Berganti menjadi sebuah foto di dalam figura yang terpasang di tembok tempatku menghadap. Aku hanya mampu berterima kasih dalam hati karena kau bersedia hadir dalam lamunanku. Menemaniku dalam percakapan imaji untuk melepaskan kegundahan dan kerinduan hatiku padamu. Rasanya baru kemarin sore aku mengantarmu ke tempat peristirahatanmu yang terakhir. “Makasih, Ma.”, ucapku dalam hati.
“Pa? Papa?!”
“Eh, Putri. Ndak, Papa hanya kepikiran kerjaan di kantor saja.”, sahutku sambil memeluknya yang sudah duduk di sampingku.
“Ngelamunin kerjaan kok sambil ngeliat foto Mama gitu.”, sindirnya sambil mendongakkan kepalanya untuk memandang wajahku.
“Ah, kamu ada-ada saja. Sudah selesai belajarnya?”, tanyaku sambil menundukkan kepalaku membalas pandangannya.
“Sudah, Pa.”
“Perutnya masih sakit?”
“Udah mendingan kok, Pa. Lagian itu biasa kok. Maaf kalau tadi pagi Putri terlalu nanya ini-itu ya.”
“Kok tau kalau itu biasa?”
“Putri udah baca tadi di internet.”
“Wah, anak sekarang udah makin pintar saja ya.”
“Iya dong. Siapa dulu, Putri gitu loh.”, timpalnya sambil sedikit menjulurkan lidah.
“Besok pagi kita ke makam Mama, yuk.”, kataku bersiap beranjak ke dapur sambil menggendongnya di punggungku dengan tangan kananku membawa cangkir kopi hitam yang hanya terisa ampasnya.
“Oke, Pa.”
Sejenak ku pandangi foto di figura itu sekali lagi. Rasa rindu terhadap sosok di foto itu pasti akan selalu ada. Pasti. Bahkan Putri pun pasti juga rindu akan kehadiran sosok Mama-nya yang belum sekalipun ia rasakan dekap hangat peluknya karena kau –Mama– pergi ketika melahirkannya. Hanya saja, Putri mungkin masih terlalu muda untuk menyadari tentang arti kerinduan itu. Wajar, usianya baru 13 tahun. Meskipun pernah sesekali dia mengaku rindu.

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

Komentar

Postingan Populer