Kopi Hitammu Adalah Lambang Kerinduanku (2): Cerita Tentang Mama

Note: Ini adalah cerita seri kedua dari Kopi Hitammu Adalah Lambang Kerinduanku. Bagi yang belum baca seri pertamanya, Nawa saranin buat baca dulu di postingan sebelum-sebelumnya (Kopi Hitammu Adalah Lambang Kerinduanku). :) Enjoy!

“And, yes.
You’ll be the only one.
‘Cause no one can deny.
This love I have inside.
And I’ll give it all to you.
My love.
My love, my love.
My endless love.”
Begitulah akhir lantunan Endless Love milik Lionel Richie menggetarkan gendang telinga kanan dan kiriku pagi ini. Sang mentari juga mulai menyapa pori-pori kulitku dengan kehangatannya. Tampak duduk di depanku sosok yang sedari tadi pandangannya tak lepas dari layar 14” dengan jemarinya yang menari. Menekan tombol demi tombol dengan sesekali tangan kanannya terangkat, memperbaiki helaian rambut untuk diselipkan di sela telinga kanannya.
Tak kusangka, kini dia sudah tumbuh menjadi seorang gadis kuliahan. Padahal seperti baru kemarin dia merengek-rengek padaku tentang tamu bulanan pertamanya, mengantarkannya berangkat ke sekolah, bahkan juga menjemputnya ketika urusan kantorku selesai lebih cepat. Ah, waktu memang tak mengenal kompromi. Terus dan terus berputar tanpa kenal istilah berhenti maupun istirahat.
“Pa? Pa? Papa?!”
“Eh i.. iya, kenapa?”, dengan sedikit terbata-bata aku menjawab.
“Ngeliatin Putri kok sampek gitu. Putri tau kalau Putri cantik. Biasa aja dong. Hehehe”, balasnya sambil nyengir. “Putri mau ke dapur bikin cappuccino. Papa mau juga?”, lanjutnya seraya bangkit dari posisi duduknya.
“Papa kopi hitam aja deh. Resepnya di pintu kulkas. Jangan lupa pake cangkir kecil yang putih.”, dengan sedikit mengingatkan, aku angkat telunjuk kananku.
“Siap boss!”

Suasana minggu pagi memang berbeda dengan hari-hari biasanya. Jalanan kompleks depan rumah yang biasanya ramai dengan lalu-lalang sepeda motor dan mobil, yang menjadi tunggangan tuannya berangkat menuju tempat bekerja tak terlihat satupun. Justru berganti menjadi aliran manusia yang berolahraga –berlari-lari kecil maupun berjalan biasa– mulai dari anak-anak, remaja hingga dewasa.
Beberapa juga ada yang menyapa dan mengajakku untuk bergabung. Tapi rasanya aku sedang malas untuk berolahraga. Lagipula, aku juga masih lelah setelah semalam harus lembur di kantor hingga dini hari tadi. Sehingga duduk di kursi teras depan rumah menjadi pilihanku sambil menikmati segarnya udara pagi.
“Ini Pa, kopinya.”, tampak kopi hitam sudah berada di hadapanku.
“Makasih, sayang.”, sahutku seraya mengerlingkan mata kiriku.
“Idih, Papa genit.”, timpalnya dengan alis yang mengangkat.
Perpaduan aroma kopi hitam dan cappuccino mulai menusuk ke dalam hidung. Kepulan asap yang melepaskan diri menuju udara seakan menambah rona kehangatan di pagi ini. Rasanya sudah lama sekali aku tidak mencium perpaduan aroma dari kedua kopi ini secara bersamaan. Padahal ketika muda dulu, hampir setiap malam minggu aku akrab dengan aroma ini. Aroma cappuccino yang berasal dari minumanku dan aroma kopi hitam yang berasal dari minuman mendiang istriku. Apalagi dalam dua tahun pertama pernikahan, hampir setiap malam rasanya kami kawinkan kedua aroma ini. Ah, rindu rasanya.

“Tumben bikinnya cappuccino, bukan susu? Ngantuk ya habis begadang semalem?”
“Iya, Pa. Mau tidur lagi tanggung.” Diseruputlah cappuccino di tangan kanannya. “Oh iya, Papa tumben juga akhir-akhir ini lebih sering minum kopi hitam daripada cappuccino? Lagi kangen Mama, ya?”, tanyanya menggoda.
Aku pun tersenyum. “Ah, apa coba. Ada-ada aja kamu.”
“Pa, cerita tentang Mama lagi dong. Itung-itung sebagai penghilang kantuk Putri. Ayo dong Pa. Mau ya, Pa?”, pintanya sambil sedikit menarik-narik tanganku.
“Boleh deh. Mau cerita yang apa?”
“Ceritain gimana dulu Papa bisa ketemu, terus kenal Mama. Pasti seru!”
“Oke. Jadi waktu itu, Papa habis pulang dari kampus….”
***
“Fer? Ferry!”
“Eh Zid, ngapain lo?”
“Ello yang ngapain? Masih ngeliatin cewek itu?”
“Sstt.. pelan, ntar kedengeran tau!”
Segelas hot cappuccino tampaknya sudah tersaji di mejaku. Aromanya menyengat, merasuk ke dalam hidungku. Aku memang bukan penggemar kopi. Tetapi untuk cappuccino yang satu ini, aku rela menghabiskannya setiap satu minggu sekali ditemani layar 14” yang terbuka dan sinarnya menyelimuti wajahku setiap kali menatapnya.
Namun kebiasaan itu sudah terabaikan sejak seminggu yang lalu. Ini adalah malam kedelapan aku datang ke café ini secara beruntung. Malam pertama, aku memang datang dengan kebiasaan lama. Tetapi untuk hari berikutnya hingga sekarang, aku datang untuknya. Sesosok perempuan yang duduk di kursi paling pojok, dekat jendela. Selalu sendiri, dengan secangkir kecil kopi hitam.
“Baru kali ini lo betah mandangin cewek, Fer. Biasaya lo kan langsung basa-basi, SKSD gtu. Lah ini, nyoba kenal aja nggak, ngeliatin doang.”, ucap Zayid. Teman satu kampusku yang sudah hafal bila aku akan di sini setiap malam minggu. Dia juga satu-satunya orang yang aku ceritakan tentang perempuan itu.
“Sampai malem ke berapa lo ngeliatin dia terus?”, Zayid kembali memainkan pita suaranya.
Aku menghela napas. Mencoba meraih hot cappuccino dan menyeruputnya. Kepulan asapnya masih tampak berhamburan. Memberikan rona hangat pada hidung dan wajahku. “Begini saja aku sudah puas, Zid.”
Memandangnya setiap malam dari kejauhan, perempuan penggemar kopi hitam, selalu datang seorang diri, tanpa teman, hanya tas di tangannya saja yang bisa dikatakan sebagai teman setianya. Keningnya mengkerut setiap kali menyeruput kopi hitamnya. Aku tahu mungkin itu karena rasa pahitnya, tetapi ada sebuah kenikmatan yang terpancar dari wajahnya setelah itu. Lesung pipi kanannya terkadang juga mencoba untuk mencuri perhatianku ketika dia tampak sedikit tersenyum. Entah apa sebenarnya yang dia senyumkan seorang diri. Tepat pukul sepuluh malam, dia beranjak dari kursi untuk menuju kasir dan pergi. Begitulah setiap malam.
“Lo tau nggak, apa yang gw suka dari perempuan itu?”, tanyaku pada Yazid. Karena sudah tidak ada lagi sosok yang biasanya selalu mengalihkan pandangan dan perhatianku.
“Well, karena cantik? Apalagi bila tersenyum dengan lesung pipi kanannya itu?”
“Bukan. Gw suka aja ngeliat dia dari sudut itu.”
“Sarap lo, Fer!”

*keesokan malamnya*

Aku mencoba datang lebih awal dari biasanya. Kali ini aku akan mencoba untuk mencuri meja tempat perempuan itu selalu menikmati kopi hitamnya, tetapi tidak dengan kursinya. Aku hanya mengambil posisi agar bisa satu meja dan berhadapan langsung dengannya. Aku akan lihat, apakah dia masih mau duduk di kursi di hadapanku setelah aku lebih dulu berada di meja itu?
Aku ambil laptopku dari dalam tas dan menyalakannya. Mencoba membuka dan membaca kembali materi kuliah hari ini, setidaknya sambil menunggu kedatangan perempuan itu. Perlahan aku mulai terseret pada kerumitan Kalkulus Elementer yang dijelaskan oleh Pak Bowo sore tadi. Berbagai ekspresi tergambar dari raut mukaku ketika membacanya, mulai dari kerutan dahi, alis yang mengangkat hingga kugigit bibirku sendiri.
“Permisi mas, boleh saya duduk di kursi ini?”
Aku mendongakkan kepala dan menghadapkan wajahku ke asal suara itu. Tampak seorang perempuan berdiri di hadapanku sambil tangan kirinya memegang kursi yang dimaksudkannya. Ah, ternyata itu suara miliknya. Suara dari perempuan yang membuatku betah mengunjungi café ini dan meneguk segelas hot cappuccino setiap harinya.
“Oh, iya mbak. Silahkan.”
Tampaknya rencanaku berhasil. Ternyata dia tetap mau duduk di kursi itu. Setelah itu, taka da lagi suara yang keluar. Aku kembali mengarahkan pandanganku pada layar 14” sambil sesekali memperbaiki kacamataku yang sedikit turun. Sementara dia, dia tetap seperti biasaya. Tenggelam dalam kesendiriannya sambil memandang ke luar jendela. Satu-satunya suara yang muncul ialah ketika pelayan café datang dengan kopi hitam pesanannya. Setidaknya seperti itulah suasananya selama 30 menit. Diam.
Aku semakin tidak tahan dengan rumitnya Kalkulus Elementer. Akhirnya kuputuskan untuk menutup laptop, meraih gelas cappuccino, dan menyeruputnya. Tampak kopi hitam miliknya sudah tinggal separuh. Mungkin dia sudah menyeruputnya berkali-kali tadi. Kupandangi perempuan itu. Wajahnya memang cantik. Dia tampak benar-benar tenggelam dalam lamunannya hingga tak sadar bila aku sedang memandangnya. Cukup lama aku memandangnya.
Perlahan lesung pipi kanannya mengintip dan mencuri perhatianku. “Mungkin dia akan tersenyum? Akhirnya aku bisa melihatnya tersenyum dari depan seperti ini.”, batinku.
Aku salah. Dia tidak tersenyum. Tiba-tiba saja air matanya jatuh. Ternyata pemandangan tampak samping yang selama ini aku lihat seperti seolah tersenyum, salah. Lesung pipi kanannya yang keluar bukan karena dia tersenyum, tapi dia sedang menangis. Matanya sembab dengan genangan air mata yang tertahan. Ah, tampaknya aku salah mengartikannya selama ini. Sial.
Aku memberanikan diri untuk berbicara. “Mbak kok nangis?”
“Eh lupa kalau ada orang.”, dia mencoba menyaka air matanya.
“Ada masalah, ya?”, tampaknya rasa penasaranku lebih mengungguli rasa kesopananku untuk kembali bertanya kepada orang yang bahkan belum aku kenal.
“Nggak juga.” Kini dia membersihkan air matanya dan mengarahkan pandangannya ke wajahku. Kami pun saling bertatap muka.
“Terus kenapa nangis?”, lagi-lagi rasa penasaranku menyeruak untuk kembali bertanya. “Mana mungkin dia mau bercerita pada orang yang tidak dikenal?”, batinku.
“Lagi kangen Papa aja.”
“Mbak juga anak rantau?”
“Bukan. Saya asli sini kok.”
“Oh, Papanya lagi keluar kota?”
Dia menghela napas. Mungkin sedikit kurang nyaman dengan orang tak dikenal di depannya yang banyak sekali bertanya.
“Bukan. Dulu saya sama Papa sering sekali ke café ini. Pesanan Papa juga selalu sama, kopi hitam seperti yang saya pesan. Meskipun sebenernya Papa punya resep sendiri. Setiap kali saya tanya, kenapa Papa suka sama kopi hitam, dia selalu bilang, “Papa sedang belajar pada malam dan kopi, Put. Tentang kehidupan, hitam pun dapat memberi kenikmatan.” Ya, walaupun saya sedikit tidak mengerti tentang arti sebenarnya.”
Aku menyeruput cappuccino milikku. “Oh, gitu. Terus?”
“Ya setiap kangen sekali sama sosok Papa, saya datang ke café ini. Saya pesan kopi hitam kesukaan Papa. Meskipun sebetulnya saya juga bisa buat dengan resep Papa di rumah. Tapi suasananya. Saya hanya kangen sama suasana ngobrol bareng Papa di café ini.”
“Berarti dalam seminggu ini lagi kangen sekali sama Papa dong?”
“Maksudnya? Kok?”
Ah, aku sedikit kelepasan. Dengan sedikit terbata-bata aku menjawab, “I..i..iya maksudnya, saya kebetulan sudah lihat mbak di café ini dengan pesanan kopi yang sama.”
“Oh gitu. Ternyata ada juga yang merhatiin saya.”
Kami berdua terkekeh bersama. Sepertinya suasana mulai mencair. Kedua matanya yang berkaca-kaca ketika bercerita sudah tak lagi tampak. Senang rasanya bisa melihatnya tersenyum.
Aku kembali membuka pembicaraan dengan bertanya. “Terus setiap kangen Papa, nangis gitu?”
“Ya, seringnya memang gitu. Wajar kali ya, Mas. Cewek memang gampang mewek.”
Aku terkekeh. “Tapi kalau saya boleh saranin, Mbak sebaiknya jangan nangis ketika kangen Papa. Kasian beliau.”
Dia menyeruput kopi hitamnya. “Loh, kasian kenapa? Kok malah Papa yang kasian?”
“Gini deh. Papa Mbak pasti juga sedih. Bahkan mungkin juga ikut nangis ketika Mbak nangis. Kasian, kan? Kalau beliau masih hidup, Mbak mungkin bisa menghentikan tangisannya. Tapi kalau sekarang gimana, coba?”
“Masuk akal. Terus gimana?”
“Coba untuk tersenyum. Kenang Papa dengan memori yang menyenangkan. Kalau Mbak tersenyum, pasti beliau juga tersenyum. Dan yang jelas nggak akan nangis lagi.”
“Hmmm…”
Aku seruput cappuccino-ku sekali lagi. “Kok cuma ““Hmmm…”, Mbak? Bener nggak?”
“Iya. Bener juga Mas. Mengenang seseorang dengan senyuman itu lebih baik daripada dengan tangisan.”
“Nah, itu Mbak-nya pinter.”
Dia terkekeh. “Makasih ya, Mas.”
Aku tersenyum. “Sama-sama, Mbak. Berarti jangan nangis lagi, ya? Sayang tuh lesung pipi kanannya kalau hanya muncul ketika menangis.”
Tampak wajahnya sedikit memerah. “Ah, bisa aja. Oh iya, ngomong-ngomong kita belum kenalan. Nama saya, Putri.”
Aku menjabat tangannya yang sudah terjulur ke arahku. “Oh iya. Nama saya, Ferry.”
“Udah jam 10, saya pamit dulu ya, Fer.” Dia seruput kopi hitamnya terakhir kali.
“Oh iya, Put.” Kupandangi sosoknya yang beranjak menuju kasir hingga akhirnya hilang di balik pintu.
Aku telah berhasil mengenal namanya. Perempuan yang setidaknya sudah seminggu ini hanya bisa aku pandangi tampak samping wajahnya dari kejauhan. Aku tak berpikir kapan bisa bertemu dengannya lagi. Malam ini sudah cukup rasanya dipenuhi euforia dengan sebuah nama, Putri. Entah aku akan bertemu dengannya lagi atau tidak, itu bukan masalah untukku. Setidaknya satu penasaranku akan perempuan itu sudah terjawab. Meskipun tak kupungkiri bahwa aku ingin mengenalnya lebih jauh.
***
“Gitu ceritanya.”
“Berarti resep kopi hitam itu sebenarnya bukan murni dari Mama dong. Tetapi dari Kakek?”
“Begitulah, termasuk kata-kata yang biasanya diucapin Mama setiap kali menikmati kopi hitamnya di malam hari.”
Putri menganggukkan kepalanya. “Terus.. terus.. Papa ketemu Mama lagi?”
Aku menyeruput kopi hitamku. “Iya ketemu. Kalau ndak ketemu mana mungkin bisa ada kamu.”
Kami berdua terkekeh.
“Eh, dasar Papa! Emang bisa ketemu di mana lagi? Di café itu lagi? Atau di mana?”
“Di kampus.”
“Hah? Jadi ternyata Papa sama Mama satu kampus?”
“Mau dilanjut ceritanya?”, tanyaku menggoda.
“Duh! Entaran aja deh, Pa. Putri mau lanjut ngerjain tugas dulu.”, pandangannya kembali terfokus pada layar 14” di hadapannya. Jemarinya kembali dibuatnya menari setelah sempat terdiam dengan hanya sesekali mengangkat gelas cappuccino menuju bibirnya.
“Ya sudah, Papa mau mandi.” Aku seruput kopi hitamku untuk yang terakhir kalinya dan beranjak masuk ke dalam rumah dengan cangkir kecil yang tinggal menyisakan ampasnya.
“Tapi ntar janji dilanjutin ceritanya ya, Pa.”, pintanya dengan suara sedikit keras agar aku bisa mendengarnya dari dalam rumah.


Komentar

Postingan Populer